Rajif Duchlun
E-Mail: aji_rd[aT]yahoo.com
RAJIF DUCHLUN, hidup dan dibesarkan di Indonesia. Suka menulis banyak hal, baik non-fiksi maupun karangan fiksi. Tulisan-tulisannya sering dimuat di media cetak dan jejaring sosial, baik berupa cerpen, puisi, esai atau opini.Daftar Buku
Jumlah buku:21. Monografi Hellen
Di sebuah telaga, setiap malam datang, kau akan mendengar isak tangis gadis, dan bunyi riak air serupa air mata yang berbulir mengena lantai tanah. Tidakkah, kau mendengar, ribuan tahun lalu, seorang gadis selalu payah, tersedu, dan menahan ringkih, sampai akhirnya ia akan menyatu dengan air mata...
Di sebuah telaga, setiap malam datang, kau akan mendengar isak tangis gadis, dan bunyi riak air serupa air mata yang berbulir mengena lantai tanah. Tidakkah, kau mendengar, ribuan tahun lalu, seorang gadis selalu payah, tersedu, dan menahan ringkih, sampai akhirnya ia akan menyatu dengan air mata...
2. Simoan
...Satu tendangan ke arah rusuk kanan, Fernando terpental, terbentur di sebuah televisi. Satu tendangan lagi, dua tendangan, tiga pukulan menggunakan senjata, Fernando terlempar ke dinding, jatuh mengena meja kaca, terkapar di atas kertas yang berisi propaganda perlawanan. Darah tiba-tiba mengalir dari hidung mancung Fernando. Air matanya pecah, berhamburan di lantai. Ia bergulung kesakitan, seperti berasa tulangnya retak. Fernando belum mati, namun setengah mati... (Penggalan cerpen “Manifesto, Hujan, dan Polisi”) “...Cerpen-cerpen Rajif bagi saya semacam ekspedisi perasaan. Saya menganggapnya sebagai usaha untuk masuk ke ranah interior, mengungkap sudut paling peka dari manusia yang senantiasa menghadapi beragam konflik yang mengelilinginya, baik itu konflik budaya, modernitas, sampai yang lebih sentimentil berupa kenangan dan pergolakan batin antar lelaki dan wanita. Ia juga memainkan simbol-simbol untuk memperdalam dan memperindah pengungkapannya. Sebuah ekspedisi yang layak untuk terus dijalani sampai ke titik paling sunyi...” (Sungging Raga, Cerpenis)
...Satu tendangan ke arah rusuk kanan, Fernando terpental, terbentur di sebuah televisi. Satu tendangan lagi, dua tendangan, tiga pukulan menggunakan senjata, Fernando terlempar ke dinding, jatuh mengena meja kaca, terkapar di atas kertas yang berisi propaganda perlawanan. Darah tiba-tiba mengalir dari hidung mancung Fernando. Air matanya pecah, berhamburan di lantai. Ia bergulung kesakitan, seperti berasa tulangnya retak. Fernando belum mati, namun setengah mati... (Penggalan cerpen “Manifesto, Hujan, dan Polisi”) “...Cerpen-cerpen Rajif bagi saya semacam ekspedisi perasaan. Saya menganggapnya sebagai usaha untuk masuk ke ranah interior, mengungkap sudut paling peka dari manusia yang senantiasa menghadapi beragam konflik yang mengelilinginya, baik itu konflik budaya, modernitas, sampai yang lebih sentimentil berupa kenangan dan pergolakan batin antar lelaki dan wanita. Ia juga memainkan simbol-simbol untuk memperdalam dan memperindah pengungkapannya. Sebuah ekspedisi yang layak untuk terus dijalani sampai ke titik paling sunyi...” (Sungging Raga, Cerpenis)