slogan leutika prio

Tulisan Yang Bicara

Posted: 22-06-2012 14:41

Sender: Ardian Candra Susila

Agan-agan yang baik hatinya dan gemar membaca, banyak sudah buku bagus yang pernah kita baca, banyak sudah penulis keren yang kita nikmati tulisannya. Dan biasanya, menurutku—dan menurut banyak orang juga—, tulisan yang bagus dan enak dibaca itu (selain tentu saja yang utama adalah “isinya”) adalah tulisan yang cara penyampaiannya mengalir seperti air. Dari kata ke kata mengalir. Dari kalimat ke kalimat mengalir. Dari paragraf ke paragraf mengalir.

Dan buat aku yang punya hobi menulis cuap-cuap, aku pun berharap tulisanku bisa mengalir seperti air. Enak dibaca dan bisa diresapi isinya oleh pembaca.

Ketika sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku, maka imajinasi “aku-akan-menulis-apa” langsung berlarian di kepalaku. Penuh sesak. Sesegera mungkin akan aku tulis kerangkanya di notepad (hare gene semua gadget sudah dilengkapi sama yang namanya notes, memo, dan sejenisnya). Ide datang bisa dari mana saja. Ada yang tiba-tiba muncul. Ada yang muncul setelah kita membaca. Ada yang dari kejadian sehari-hari di sekeliling kita.

Kalau ide yang muncul berupa tulisan yang berbau nasihat agama, aku langsung ingat ke hadis tentang ini dan itu, atau ayat Alquran yang ini atau yang itu, yang kelak akan aku copy paste teks lengkapnya ke dalam tulisanku. Baru ketika kemudian ada kesempatan duduk manis di depan laptop, baru deh tulisan kubuat. Ctek ctek ctek, jari-jemari mulai lincah memencet-mencet tuts di keyboard. Kalau bisa antara ide dan nulis jangan lebih dari satu hari. Mood-nya bisa hilang entar.

Karena aku nggak punya pakem ilmu tulis-menulis, maka apa yang kutulis adalah sama persis dengan apa yang kuomongin. Dengan harapan, “bahasa ngomong” kuanggap akan lebih mudah dicerna oleh pembaca. Coba lihat teknik nulisnya Ippho Santosa, yang ternyata sama persis dengan gaya dia kalau ngomong. Ya kan?

Yeaah, kalau kembali ke aku sih kayaknya aku emang perlu dididik deh. Diajarin tips-tips dan teknik-teknik penulisan supaya lebih baik (ikut workshop penulisan atau workshop blogger sepertinya menggiurkan deh. Uhuy, mudah-mudahan someday kepanggil). Tapi ternyata ada juga teman-temanku yang pengin kuajarin nulis. Hihihi, ngajarin apa coba? Well, tapi tentu saja dengan senang hati aku akan berbagi apa yang kutahu. Dan tulisanku hari ini juga termasuk dalam rangka berbagi apa yang kutahu.

Oke, lanjut!

Rata-rata penulis yang bermula dari blogger nih Gan, emang punya gaya nulis yang model ngomong seperti ini. Nyerocos saja tanpa pakem. Dan ternyata menarik lho. Coba saja kita baca tulisan Raditya Dika atau Miund atau blogger-blogger keren lain. Dan tentu saja beda cara nulisnya dengan Andrea Hirata yang nulisnya memiliki nuansa sastra. atau A. Fauzi yang sejak muda digembleng menulis hingga jadi wartawan Tempo (ketika membaca Negeri 5 Menara, aku langsung merasa huiihh… gini nih penulis yang emang sudah digembleng sejak muda). Bedalah sama kita-kita yang baru belajar nulis.

Tapi jangan minder sama penulis-penulis besar itu ya. Kan tiap orang memang punya gaya nulis sendiri-sendiri. Kita ambil pelajaran saja. Dengan banyak membaca tulisan dari berbagai penulis, sebenarnya kita sudah belajar tuh untuk menulis. Makin banyak warna dan style yang kita tahu, bisa jadi akhirnya tanpa sadar ikut mewarnai gaya menulis kita. Kembali saja ke tujuan kita menulis itu apa.

Satu orang saja yang membaca tulisan kita lalu mendapat manfaat, kemudian terinspirasi untuk jadi lebih baik, itu sudah jauh lebih mulia daripada satu juta orang membaca tulisan kita lalu menjadi berperilaku buruk karenanya.

Nah, kembali ke judul di atas. Setelah tulisanku jadi, baru tuh kubaca ulang dan kumasukan soul.

Soul? Apaan tuh?

Itu istilahku saja sih. Orang lain mungkin punya istilah juga sendiri-sendiri yang artinya sama. Soul itu kumasukan supaya tulisanku yang hampir jadi ini jadi terasa mengalir dan supaya (mudah-mudahan) enak dibaca. Biasanya walaupun tulisan sudah jadi, tapi belum ada soul-nya, maka sampai sekarang pun tulisan itu akan ngendon saja di laptop. Nggak tersentuh dan nggak akan ter-posting.

Soul itu kaya gimana misalnya?

Mari kita baca kalimat berikut ini:

“Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.

Eh, sebentar... sebentar..., bacanya jangan dilagukan dong, kan ini bukan disuruh nyanyi. Ini cuma sebuah contoh kalimat saja buat perbandingan.

Coba sekali lagi ya, tapi kali ini tanpa dilagukan:

“Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.”

Nah bagiku, tulisan ini belum ada soul-nya. Jadi kalau aku yang nulis nih, kutambahin soul tuh di kalimat di atas. Jadi begini:

“Eh, udah pada tahu kan ya kalau aku seorang kapiten? Nah, aku tuh mempunyai pedang. Panjaaang beeuud.” :D

Gitu ituuu yang kumaksud dengan soul.

Intinya sebenarnya sama saja antara kalimat pertama dan kalimat kedua. Tapi pada tulisan yang kedua (yang kukasih soul) tulisanku lebih nyerocos kaya orang bercerita Bahasa jadi lebih santai bertutur dan nggak kaku. Bahkan terkadang tulisanku kutambahi narsis hiperbola, seperti si mas ganteng, papa handsome, pemuda tampan. Atau kutambahi backsound: “sliiing, jlebb, cuit cuit cuit, dowweeng, ngek, ngook, dan sebagainya”.

Itulah sebab semua orang yang nulis pasti berharap tulisannya bisa bicara. Apakah iya semua orang suka sama tulisan yang kaya gitu? Ternyata enggak. Karena ketika aku nulis penjelasan di Kertas Kerja Pemeriksaan (sehubungan dengan kerjaanku sebagai tax auditor), ternyata lagi-lagi aku memasukkan soul dalam tulisanku. Bagaimana aku bercerita tentang gambaran kegiatan perusahaan yang kuaudit. Bagaimana ketika aku bercerita tentang kronologis pemeriksaan yang kulakukan. Dan biasanya atasanku langsung coret-coret tuh yang menurutnya nggak penting dan kepanjangan, hahaha. Dan aku juga pernah ditegur salah satu direktur gara-gara kronologis yang kuceritakan terlalu “kayak-orang-cerita”. Hihihi.

Yah, sekali lagi, tiap orang punya style sendiri-sendiri.

Banyak-banyak nulis, banyak-banyak dikritik orang, banyak-banyak membaca dan selalu belajar untuk jadi lebih baik. Mau kasih soul boleh, nggak juga boleh, tergantung tema tulisan. Soul-nya kebanyakan jadi lebay. Tanpa soul jadi kaku dan terlalu resmi. Pintar-pintar kita saja. Lagian, toh nggak semua orang harus suka sama tulisan kita (walau tentu saja kudu optimis mudah-mudahan orang suka). Karena dengan disuka, maka orang betah membacanya. Dan makin banyak yang baca, maka makin banyak orang yang mendapat manfaat dari tulisan kita. Mudah-mudahan, insya Allah.

Ini ceritaku. Semoga bermanfaat.

 



Share |
Leutika Leutika