slogan leutika prio

Mirza Ghulam Ahmad, dkk

Mirza Ghulam Ahmad, dkkE-Mail: mirzaa0404[aT]yahoo.com

Mirza Ghulam Ahmad (My-Ink) Dosen Sosiologi Sastra dan mahasiswa kelas R4E Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Indraprasta PGRI Jakarta angkatan 2011




Daftar Buku

Jumlah buku:10

1. Syair Pengemis
Syair PengemisR ikhsan Saepul Mukhsin (Anggota Ranggon Sastra) “Saya berkomentar sebagai penggiat puisi saja. Bukan ahli! Saya lebih senang menyebut ini sebagai bentuk puisi lama secara struktur, puisi baru secara tema dan diksi. Kumpulan ‘caci-maki’ akan ketidakadilan seolah dikumandangkan disini. Semoga setelah ini diterbitkan kita lebih bijak dalam menyikapi persoalan hidup”. Manah (Pengemis Cibubur) “Ya begini memang adanya, kami tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Sisi kemanusiaan yang kami ketuk untuk menyambung hidup. Hati tidak ingin tapi perutkan tidak bisa kompromi’. Ayyatu Shifa Hasib (Alumni Ponpes Darul Ulum Lido, Sukabumi) “Membaca tiap syair yang ada seolah bernostalgia pada sholawat yang sering saya dendangkan di Pesantren dulu. Sangat luar biasa semua akhir kalimat dapat disamakan rimanya”.

2. Sajak Talibun Bertirai Nusantara
Sajak Talibun Bertirai Nusantara“Dengan antologi puisi Sajak Talibun Bertirai Nusantara ini, mahasiswa membuktikan masih memiliki jiwa nasionalisme dengan cara yang berbeda. Indahnya kata dalam sajak talibun ini memiliki pesona akan harapan masa depan bangsa.” ( Farahdina Intan Dosen PKn ) “Menyindir dengan tulisan terukir, mengkritik dengan kata yang mengelitik. Sebuah bacaan tentang harapan masa depan, membuat siapa saja manggut-manggut saat mebaca tiap bait sajak.” ( Eko Yulianto Dosen Bahasa ) “Kata-katanya berbaris rapi, makna yang terkandungpun tertata sehingga mudah dicerna, bahkan oleh saya yang tidak mengerti sastra. Hidup Nusantara.” ( Liza Antika Dewi Anggota Paskibra )

3. Cahaya di Ujung Lorong Cinta
Cahaya di Ujung Lorong Cinta“Membaca puisi ini membuat saya termenung, tersenyum, dan terkagum hingga lidah ini tidak bisa terucap meskipun ingin menyampaikan sesuatu.” (Hana Nurfiana, penemu cahaya di ujung lorong cinta) “Seperti membuka cangkang kerang. Banyak benih mutiara yang siap dijadikan perhiasan, sungguh menakjubkan kreativitas mahasiswa Unindra.” (Siti Muharomah, Dosen Bahasa dan Guru Seni)

4. Dunia dalam Puisi
Dunia dalam Puisi“Ketiadaan yang membuat ada. Hebaat, tidak memiliki ‘tema’ malah melahirkan ‘tema’ itu sendiri. Antologi puisi dengan beraneka judul “Dunia dalam Puisi”, membuatnya tidak dapat diduga apa yang akan dihadirkan penulis selanjutnya, beda lembar beda kehidupan. Itulah ‘dunia’”. (Yulia Agustin, M.Pd., Dosen Bahasa) “Saya bosan dengan dunia dalam berita, namun jika beritanya disampaikan dalam bentuk puisi sungguh indah terasa. Buku ini menginspirasi untuk membuat program televisi berita dalam puisi. Mengaggumkan.” (Libert Sumirat, Pemerhati Televisi) “Yang dihadirkan tidak melulu tentang cinta, tapi ditulis dengan rasa cinta. Hidup mahasiswa terus berkarya.” (Nur Ummiati, Redaktur Majalah Sutera)

5. Untaian Kata dalam Khutbah Dhuha
Untaian Kata dalam Khutbah DhuhaEntah apa yang dipikirkan Kardi, ketika dia begitu tega menampar Andini anaknya yang baru berusia 8 tahun. Andini berlari menuju ibunya dengan memar kemerahan di pipi kirinya. “Sakit, uhh uhhh ibu sakit” “Kenapa kamu sayang, kamu jatuh?” Isak masih terdengar walau begitu sendu, butiran air mata mengguyur pipi manis yang dihiasi rambut sebahu dan juga tentu luka memar yang meronah namun tak indah. Suaranya terbata-bata ketika ingin bicara. Ibunya menatap wajahnya dengan mata yang berbinar, tak tega malaikat kecilnya menangis begitu menyentuh, dipeluknya Andini dengan erat dan juga tetesan air mata yang mengikuti rintihan tangis anaknya. *** Kardi bersimpuh di bawah kaki istrinya, dia menagis merengek lebih sendu dari tangisan Andini tadi. “Mas meminta kekuatan dalam hidup, Allah memberika cobaan agar doa mas terkabul. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak sanggup dipikul oleh hambanya mas”. Lestari mengangkat badan Kardi mereka berpelukan dalam derai air mata, Andini mencoba memeluk kedua orang tuanya dengan tangan yang mungil serta rona merah yang kini begitu indah. Tamparan permersatu, ronah merah yang kini begitu indah ketika untaian kata dalam khubah dhuha menjelma.


Sebelumnya [1] [2] Selanjutnya
Leutika Leutika