Langkah semakin melelahkan. Melalui segala kejadian di dalam naungan semesta. Melangkah di antara rinai hujan, berbicara pada malam penuh rahasia, bertemu pagi, embun, dan penderitaannya, dan menuju ruang senja penuh renungan di bawah jingganya. Bertemu dengan manusia warna-warni. Hijau, kuning, merah, jingga putih hingga hitam. Mereka menari dan bersandiwara sesuai peran yang diberikan. Bersembunyi di balik topeng kepalsuannya. Manusia itu makhluk yang unik. Mereka berlagak berpikir, padahal memahami akal sudah tak mampu. Merasa pintar, padahal tidak tahu apa-apa. Mereka hidup pada mimpi-mimpi yang mereka bangun. Pengharapan-pengharapan tinggi yang membuat mereka hidup hingga kini. Mereka berharap, namun akhirnya menemui jurang kekecewaan yang teramat dalam. Kemudian, di kala sunyi sudah tak ada lagi di dunia, hiruk pikuk huru-hara menguasai bumi. Mereka menemui kebisingan di seluruh semesta. Sebuah titik carut marut semesta bersama kehidupan manusianya. Dari berbagai masalah, muncullah dendam dari hasil kemenangan dan kekalahan. Muncullah kubu-kubu yang berdiri berhadapan dan berlomba mencaci maki, bertaruh siapa yang paling besar kadar bencinya. Kemudian, aku muncul menceritakan kepadamu sebuah kisah tentang kearifan alam, keluhuran mati muda, rindu, cermin, dan lagak manusia yang penuh dengan kepalsuan. Pada akhirnya kita mesti kembali menjemput cahaya. Cahaya yang terang yang menjadi penerang di jalan yang gelap dan penuh kebingungan. Menuju ujung dari segala ujung.