aku berpuisi di sini hari ini

karena belati tak lagi tajam bernyanyi

biar penaku menatah prasasti di bawah Arasy

biar puisiku merobek langit membelah bumi

Puisi adalah rehat bagi jiwa yang penat. Puisi adalah penawar dahaga di tengah teriknya sahara. Namun lebih dari itu, puisi adalah cermin tempat kita berkaca tentang eksistensi diri di hadapan Sang Pencipta. Ia adalah barisan kata tempat kita mengeja kehendak dan keagungan-Nya. Maka puisi adalah dzikir untuk mengingat-Nya. Maka puisi adalah tasbih yang memuji keagungan-Nya. Maka puisi adalah hamdalah yang mewujud syukur pada-Nya. Maka puisi adalah takbir pembakar semangat di jalan-Nya.

Penghayatan puisi seperti inilah yang mengilhami lima penulis muda untuk merangkai puisi-puisi yang terkumpul dalam buku ini. Mereka menyebutnya sebagai puisi islami, sebuah genre puisi yang coba mereka hidupkan kembali. Seratus puisi di dalam buku ini mengajak kita berintrospeksi diri, memperbaiki pemaknaan tentang cinta, mengobarkan semangat berdakwah, memancang cita-cita di ufuk tinggi, menghayati kondisi bangsa yang tengah carut-marut, mentadaburi keindahan alam, dan banyak hal lain yang membuat kita lebih bijak memahami berbagai peristiwa kehidupan dalam bingkai keimanan. Puisi-puisi dalam buku ini tidak dirangkai dengan kata-kata yang terlalu “mewah” sehingga sulit dipahami, tetapi juga tidak menggunakan kata-kata yang terlalu “telanjang” sehingga kehilangan unsur puitisnya. Puisi yang tidak membuat kening berkerut untuk mencerna maknanya yang begitu tersembunyi, tetapi tetap terasa indah untuk dinikmati dan mengenyangkan jiwa